Home » , » Peran Guru Agama dalam Membangun Pertahanan Sekolah

Peran Guru Agama dalam Membangun Pertahanan Sekolah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sekolah (sebagai lembaga pendidikan), memiliki amanat untuk mengembangkan berbagai pengetahuan secara integratif dan tidak terbatasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran saja, melainkan lebih dari itu adalah sebagai esensi-esensi nilai budaya/ kebudayaan secara utuh yang berakar di masyarakat. Budaya/ kebudayaan harus diterapkan dalam konteks yang lebih luas untuk pengembangan akal budi dan sikap perilaku manusia lewat pembelajaran. Sekolah yang sengaja dilembagakan dan diperan-fungsikan untuk mengembangkan potensi anak didiknya sebagai individu yang datang dari keluarga dan lingkungan, maka sekolah memiliki multiperan, yakni berperan sebagai subtitusi keluarga dan orang tua, subtitusi masyarakat juga subtitusi bangsa dan pemerintah.
Mari kita “memutar mundur” (flashback), Masihkah ingat “Wawasan Wiyata Mandala” ?. Konsep ini memang lebih ditujukan kepada satuan pendidikan jenjang sekolah dasar, namun secara filosofis konsep “Wawasan Wiyata Mandala” memiliki relevansi untuk digunakan pada jenjang yang lebih tinggi ataupun pendidikan usia dini. Konsep ini dibangun untuk menjadikan sekolah sebagai pusat kebudayaan, sekolah tidak hanya memprogramkan, mengajarkan, mengarahkan, membimbing, serta mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi lebih dari itu, yakni pengembangan seluruh aspek dan potensi pribadi anak, sehingga anak tidak menjadi kering. Menyikapi persoalan ini, kembali H.A.R. Tilaar, mengungkapkan: “Pada masa Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan konsep Wawasan Wiyata Mandala. Menurut konsep tersebut sekolah merupakan suatu pusat kebudayaan. Artinya program pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi juga pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Demikian pula sekolah tidak terasing dari kehidupan masyarakatnya tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.
Banyak kasus yang terjadi di sekolah; seperti kekerasan fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh guru kepada siswanya, kasus siswa melakukan kekerasan terhadap guru, kasus kekerasan antar siswa baik fisik maupun nonfisik, dan atau tidak harmonisnya hubungan antar sejawat serta hubungan atas-bawah (pimpinan sekolah dengan guru atau tenaga kependidikan lainnya). Kasus lainnya adalah menurunnya rasa saling hormat, menghargai, santun baik antara siswa sebaya maupun terhadap kakak kelasnya, terhadap guru dan anggota komunitas sekolah lainnya serta implikasinya terhadap anggota keluarga dan warga masyarakat, bangsa dan lingkungannya. Apa yang kiranya harus dilakukan dan ditata ulang ketika kasus-kasus tersebut benar adanya dan bahkan mungkin lebih dari itu, sebab ini menjadi sebuah gambaran bahwa betapa rawannya ketahanan sekolah. Merupakan suatu keniscayaan ketika tata kehidupan sosial di sekolah tidak mulai dikaji ulang dan ditata ulang, yang salah satunya melalui pengembangan tatakrama sebagai upaya membangun ketahanan sekolah.

B. Sekolah Sebagai Representasi Pembentukan Moral
Sekolah, dikembangkan dengan filosofi, visi, misi, strategi; sehingga menjelma sebagai sosok yang dapat dipercaya untuk membantu anak-anak bangsa ini tumbuh kembang sesuai potensi dirinya dan sesuai dengan harapan orangtua/ keluarga, harapan dirinya, harapan masyarakat dan harapan bangsa dan negara. Oleh karena itulah maka mengembangkan sekolah harus berbasis kepada pandangan hidup yang dijunjung, berbasis spiritualitas, berbasis kemasyarakatan, berbasis kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, berbasis perkembangan anak, serta berbasis pada tata aturan dan kaidah-kaidah pendidikan (pedagogik maupun andragogik). Ketika sejumlah harapan tersebut harus tercapai, artinya harus dilakukan upaya pengkajian dan sinergitas, kolegialitas, sehingga sekolah akan menjadi kuat mengusung tugas fungsi dan perannya.
Dengan demikian sebenarnya model pendidikan yang dianjurkan dewasa ini, pendidikan dari dan oleh masyarakat (community-base education) sebenarnya telah terangkum dengan wawasan Wiyata Mandala. Sayang sekali pelaksanaan konsep ini hanya terbatas pada tingkat konseptual saja. Jiwa dari Wawasan Wiyata Mandala mati di tengah jalan. Akibatnya ialah pendidikan terasing dari masyarakat, dan selanjutnya pendidikan terlepas dari kebudayaan” (2000 : 222).
A. Malik Fajar, sebagai Mendiknas pada saat itu (2004), mengingatkan pada awal pidato Pencanangan Gerakan Anti Narkoba di Sekolah : “Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa suatu bangsa dan negara yang kuat sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Hanya generasi yang aktif, kreatif, cerdas, memiliki kepribadian, berakhlak mulia dan memiliki keimanan yang kuat yang mampu menangkal segala pengaruh negatif yang datang dari manapun”. Lebih lanjut beliau mengingatkan : “… kita khususnya para kepala sekolah dan guru serta kalangan pendidik menyadari akan fungsi lembaga pendidikan, lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam mengarahkan dan menciptakan iklim yang kondusif untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi terbentuknya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan berkepribadian yang tangguh” (Jakarta, 2 Agustus 2004). Artinya, sekolah menjadi “representasi” untuk membangun ketahanan dan pengembangan budaya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penggunaan Sekolah
Pemahaman dasar dan tentunya sangat mendasar dari masyarakat (awam/pada umumnya), bahwa sekolah selain membekali kompetensi akademik (pintar), adalah mendidik, membelajarkan anak-anak bangsa ini untuk memiliki norma dan tata nilai sesuai dengan tata laku lingkungannya, budaya bangsa dan agamanya. Oleh karena itu sekolah berkewajiban untuk mengembangkan bentuk perwujudan perilaku (manifested behaviour) yang sesuai dengan norma dan tata nilai, selain yang hanya dapat dipersepsikan (perceived behaviour), artinya sekolah sebagai lembaga yang memiliki komunitas dan berwujud sebagai masyarakat berbentuk kecil (small community) dipandang penting untuk mengembangkan tatakrama dan/atau tata laku dalam kehidupan sekolah dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, sehingga dapat berdampak terhadap kehidupan anak-anak di dalam keluarga (rumah), masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Departemen Pendidikan Nasional (2001), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis Sekolah Buku 4 mengenai Tatakrama dan Tata tertib Kehidupan Sosial sekolah bagi SLTP, mengungkapkan pada latar belakangnya bahwa : ”Dunia pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian kita semua. Salah satu masalah tersebut adalah menurunnya tatakrama kehidupan sosial dan etika moral dalam praktik kehidupan sekolah yang mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang amat merisaukan masyarakat. Ekses tersebut antara lain semakin maraknya penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan yang terwujud dalam bentuk : kurang hormat terhadap guru dan pegawai sekolah, kurang disiplin terhadap waktu dan tidak mengindahkan peraturan, kurang memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang dan lain-lainnya”. Hal ini adalah ancaman dan tidak dapat dibiarkan dan tentunya harus segera diatasi agar tidak terus mengancam anak-anak bangsa dan tatanan sosial, agama, negara dan bangsa. Sekolah adalah garda ketahanan nilai moral, sopan santun, aturan dan kaidah yang dapat memberikan sumbangan terhadap ketahanan diri anak, ketahanan keluarga, masyarakat, dan bangsa ini. Oleh karena itu mengembangkan tatakrama dan tata laku kehidupan sosial sekolah menjadi penting.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang diperuntukan sebagai tempat proses kegiatan belajar mengajar, tidak boleh dijadikan sebagai tempat :
1. Ajang promosi/ penjualan produk-produk perniagaan yang tidak berhubungan dengan pendidikan.
2. Sekolah merupakan lingkungan bebas rokok bagi semua pihak.
3. Penyebaran aliran sesat atau penyebarluasan aliran agama tertentu yang bertentangan dengan undang-undang.
4. Propaganda politik/ kampanye.
5. Shooting film dan atau sinetron tanpa seijin Pemerintah Daerah.
6. Kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan, perpecahan, dan perselisihan, sehingga menjadikan suasana sekolah tidak kondusif.

B. Penataan Wiyata Mandala dalam Upaya Ketahanan Sekolah
1. Ketahanan sekolah lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang bersifat preventif. Upaya represif dilakukan apabila upaya-upaya lain sekolah tidak memungkinkan.
2. Untuk menjadikan sekolah sesuai dengan tujuan dan fungsinya, perlu dilakukan penataan Wiyata Mandala di sekolah melalui langkah-langkah :
a. Meningkatkan koordinasi dan konsolidasi sesama warga sekolah untuk dapat mencegah sedini mungkin adanya kegiatan dan tindakan yang dapat mengganggu proses belajar mengajar.
b. Melaksanakan tata tertib sekolah secara konsisten dan berkelanjutan.
c. Melakukan koordinasi dengan Komite sekolah dan pihak keamanan setempat untuk terselenggaranya ketahanan sekolah.
d. Mengadakan penyuluhan bagi orangtua dan siswa yang bermasalah
e. Mengadakan penyuluhan dan pembinanan kesadaran hukum bagi siswa.
f. Pembinaan dan pengembangan keimanan, ketakwaan, etika bermoral Pancasila, kepribadian sopan santun dan berdisiplin.
g. Pengembangan logika para siswa, rajin belajar, gairah menulis, gemar membaca/ informasi/ penemuan para ahli.
h. Mengikutsertakan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan diri.
i. Mengadakan karya wisata dalam rangka pengembangan iptek.

C. Tugas, Wewenang dan Tanggung jawab Kepala Sekolah dalam Pelaksanaan Wiyata Mandala
Kepala Sekolah sebagai pimpinan utama, bertugas dan bertanggung jawab memimpin penyelenggaraan belajar mengajar serta membina pendidik dan tenaga kependidikan serta membina hubungan kerjasama dan peran serta masyarakat.
Kepala Sekolah dalam melaksanakan penataan Wiyata Mandala di sekolah, hendaknya melakukan kegiatan-kegiatan :
1. Melaksanakan program-program yang telah disusun bersama Komite Sekolah.
2. Menyelenggarakan musyawarah sekolah yang melibatkan pendidik, OSIS, Komite Sekolah, tokoh masyarakat serta pihak keamanan setempat.
3. Menertibkan lingkungan sekolah baik yang berbentuk perangkat keras (sarana prasarana) dan perangkat lunak (peraturan-peraturan, tata tertib, tata upacara dan lain-lain).
4. Mengadakan pertemuan baik rutin maupun insidentil yang bersifat intern sekolah (kepala sekolah, pendidik, orangtua siswa, siswa).
5. Menyelenggarakan kegiatan yang dapat menunjang ketahanan sekolah seperti PKS, Pramuka, PMR, Paskibra, kesenian dan sebagainya.

D. Mekanisme Pelaksanaan Wiyata Mandala dalam Rangka Ketahanan Sekolah oleh Guru dan Unsur Sekolah
Dalam rangka pelaksanaan Wiyata Mandala perlu upaya penanggulangan secara dini setiap permasalahan yang timbul sehingga dapat menghilangkan dampak negatifnya, yaitu dilaksanakan secara terpadu, bertahap dan berlanjut sebagai berikut :
1. Tahap Preventif
Upaya untuk meniadakan peluang-peluang yang dapat memungkinkan terjadinya kasus-kasus negatif di sekolah, melalui antara lain :
a. Memelihara sekolah, dan lingkungan sekolah serta menciptakan kebersihan dan ketertiban agar siswa merasa nyaman dan menyenangkan dan tidak ada tempat tertentu yang dijadikan siswa untuk hal-hal negatif.
b. Menciptakan suasana yang harmonis antara pihak pendidik/ staf dan siswa serta penduduk di sekitar sekolah.
c. Membentuk jaring-jaring pengawasan/ kontrol dan razia terhadap kegiatan siswa di lingkungan sekolah.
d. Menghilangkan bentuk-bentuk perpeloncoan pada saat MOS.
e. Meminimalisir keterlibatan kelompok maupun perorangan dalam kegiatan sekolah.
f. Mengisi jam-jam kosong dengan pelajaran atau kegiatan ekstra lainnya.
g. Meningkatkan kegiatan ekstrakurikuler pada masa awal/ akhir semester dan masa liburan sekolah.
h. Peningkatan keamanan dan ketertiban khususnya pada saat berangkat/ usai sekolah.
2. Tahap Represif
Upaya untuk menindak siswa yang telah melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib sekolah. Upaya Represif seperti :
a. Mendamaikan para pihak yang terlibat perselisihan bersama orangtua/ pendidik dan pembinanya.
b. Membatasi areal tempat terjadinya aksi.
c. Menetralisir isu-isu yang berkembang dan mencegah timbulnya isu-isu baru.
d. Berkoordinasi dengan pihak keamanan apabila terdapat pihak luar sekolah yang melanggar keamanan, ketertiban dan perbuatan kriminalitas di lingkungan sekolah.
e. Mengungkap lebih lanjut keterlibatan pihak luar sekolah atas kasus yang timbul dan menyelesaikan secara hukum.
f. Mengikutsertakan para ahli untuk mengadakan bimbingan dan penyuluhan.
g. Memberikan sanksi sesuai tata tertib yang berlaku.

E. Peran Guru Agama dalam Upaya Ketahanan Sekolah
Guru adalah status sosial yang disandang oleh seseorang yang dalam kesehariannya hidup dalam masyarakat yang tidak berbeda dengan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan sasaran didik pada khususnya; tidak mustahil menghadapi, mengalami dan menjalani tekanan-tekanan dalam kompleksitas kehidupan di masyarakatnya dengan berbagai sebab yang melatarbelakanginya, dan bukan tidak mungkin berakibat timbulnya kekecewaan. Ketika itu terjadi, kekecewaan yang dialaminya akan berpotensi mempengaruhi suasana hati, sosioemosional dan kinerjanya.
Mengembangkan budaya sekolah melalui atmosfir pembelajaran yang lebih kondusif; aman, nyaman, dan menyenangkan dapat menumbuhkembangkan anak-anak dengan baik dan menjadi produk pendidikan yang bermanfaat untuk membangun bangsa ini dari keterpurukan dan ketertinggalan dari sisi intelektualitas, moralitas, dan spiritualnya. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, baik fisik maupun verbal seringkali berdalih atas nama memberikan ajaran (funishment), karena apa yang dilakukan oleh siswa tidak sesuai dengan kaidah atau tatakrama, namun tidak disadari bahwa tindakan yang dilakukan guru pun mengakibatkan kerugian dan atau bahaya terhadap fisik dan atau psikologis siswa. Oleh karena itu, kiranya sangat penting untuk memahami tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan itu.
Kekerasan dimaknai sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau financial, baik yang dialami individu maupun kelompok (Barker dalam Huraerah (2006) dari The Social Work Dictionary). Sedangkan kekerasan menurut Jack Dauglas dan Frances Chault Waksler (dalam Arif Rachman), istilah ini digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Jakarta 2006). Mencermati definisi diatas, manakala hal tersebut terjadi dalam praktek pendidikan di sekolah adalah sebuah keniscayaan yang menafikan kaidah-kaidah pedagogik yang sangat normatif dalam memandu bagaimana sebuah pendidikan dan pembelajaran harus dilakukan oleh guru, hal ini seperti dikemukakan oleh Nana Syaodih (2004), “… proses pendidikan di sekolah terjadi interaksi pendidikan dan pengajaran antara pendidik (kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga pendidik lain) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan”.
Interaksi pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan dan karakteristik peserta didik. Peranan pendidik lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih banyak menguasai nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan”. Persoalannya adalah, ketika kaidah-kaidah pendidikan harus dijunjung, praktek kekerasan baik yang terbuka ataupun yang tertutup, fisik maupun verbal masih sering terjadi di sekolah. Mengapa ?. Arif Rachman (2006), mengemukakan bahwa “hal-hal yang mengakibatkan kekerasan itu adalah : 1) kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik, 2) kekerasan dalam pendidikan dapat diakibatkan oleh buruknya system dan kebijakan pendidikan yang berlaku, 3) kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini semakin vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan, 4) kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas, 5) kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi pelaku”.
Apapun alasannya, kekerasan di sekolah (dalam pendidikan) merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik oleh kaidah pendidikan, norma sekolah dan hukum positif yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sebagai bahan pemahaman (umum) tentang bentuk-bentuk seperti apa yang dikategorikan sebagai kekerasan kepada anak (child abuse), Suharto (dalam Huraerah, 2006), mengklasifikasikan kepada empat bentuk yaitu : pertama, kekerasan fisik, kedua kekerasan psikologis, ketiga kekerasan seksual, dan keempat kekerasan sosial. Kekerasan fisik berbentuk penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian kepada anak. Kekerasan psikologis meliputi bentuk penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan sosial, mencakup penelantaran anak , yaitu sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak, dan eksploitasi anak.
Bentuk kekerasan seperti diuraikan di atas secara implementatif dapat dikembangkan dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di sekolah, yakni pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan anggota komunitas sekolah lainnya, diproteksi oleh aturan yang memuat rambu-rambu yang melarang perbuatan kekerasan terhadap siswa (anak) baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak-anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat 1 dan 2 UURI No. 23/2002), dan semua ini dalam rangka mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak salah satunya adalah hak mendapat perlindungan dalam pendidikan. Pada pasal 49 (undang-undang yang sama) menegaskan bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Sedang pasal 50-nya menyebutkan bahwa pendidikan yang dimaksud diarahkan pada :
a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan atas hak asasi dan kebebasan asasi;
c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendirinya;
d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
Inilah rambu-rambu hukum yang kiranya dapat menjadi bahan pemahaman dan memproteksi diri untuk memberikan perlindungan terhadap siswa dan anak-anak bangsa dan memproteksi diri untuk tidak melakukan tindakan kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial. Namun demikian pada undang-undang ini juga dinyatakan mengenai kewajiban anak (pasal 19); yaitu setiap anak berkewajiban untuk :
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru
b. Menghormati keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Membangun ketahanan sekolah tentunya tidak berarti membuat barikade besi dan kawat berduri di depan sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga pendidikan, sebagai substitusi orang tua, masyarakat, bahkan Negara dan bangsa, sejatinya harus memelihara dan menumbuhkembangkan sifat dasar, filosofi, visi, dan misi, tujuan dan peran fungsinya, sehingga kesakralan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang dipercaya dapat membantu menumbuhkembangkan potensi anak-anak bangsa sesuai potensinya dan sesuai dengan harapan orangtua, masyarakat serta Negara dan bangsa ini. Membangun ketahanan sekolah merupakan upaya yang komprehensip dan seimbang antara pendidikan mental intelektual, sosioemosional, ekonomikal, spiritual dan kultural; sehingga anak-anak bangsa ini tidak hanya dididik menjadi manusia yang pintar dan terampil tetapi juga dididik untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, memiliki nilai moral, spiritual, berbudaya dan beradab, sehingga anak-anak bangsa ini memiliki ketahanan logika, etika dan estetika.
Menyimak hal di atas, membangun dan mengembangkan ketahanan sekolah akan menjadi penting, karena hal ini erat kaitannya dengan sejauh mana anak-anak kita (baca: siswa/mahasiswa) bahkan masyarakat luas memahami, memiliki ketahanan dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budaya, norma intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan sebagainya. Hal ini tentu akan tergantung sejauh mana kita sebagai pelaku pendidikan untuk terus berupaya membangun ketahanan dan mengembangkan budaya di lembaga pendidikan kita melalui kaidah pedagogik, profesionalitas, didaktik-metodologik, andragogik serta kearifan lokal yang lekat dengan masyarakatnya; seperti kata Carl Rogers, “Freedom to Learn for the 80’s” (baca: dalam Eleanor Fienberg dan Walter Fienberg: 2003) : “Ketika saya mulai mempercayai mahasiswa, saya berubah dari seorang guru dan evaluator menjadi fasilitator dalam proses belajar”.


DAFTAR PUSTAKA

Adi Tjahjono (2004), Stop, Selamatkan Moral Bangsa, Citra Pendidikan Indonesia (CPI), Jakarta.
A. Malik Fajar (2004), Kumpulan Pidato Mendiknas, Depdiknas, Jakarta
Depdiknas, UURI No. 20 th. 2003, tentang : Sisdiknas, Jakarta. Depdiknas, PPRI No 19 Th. 2005, tentang : Standar Nasional Pendidikan, Jakarta Depdiknas (2001), Manajeman Peningkatan Mutu Berbasis sekolah, Jakarta.
Depdiknas (2002), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis sekolah, Buku 4 tentang Pedoman Tatakrama dan tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah Bagi SLTP, Jakarta.
Supriadie, Didi (2009), Membangun Ketahanan Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
H.A.R. Tilaar (2000), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. H.M. Ridwan Ibrahim Lubis (2003), Pembinaan Akhlaq Al-Quran Untuk Anak Remaja, Islamic Village, Tangerang.
Linda dan Ricahad Gyre (1997), Mengajarkan Nilai-Nilai Kepada Anak (Alih Bahasa oleh : Alex Tri, K.W.), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soedijarto (2000), Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAP,
Syaukani (2002), Titik Temu Dalam Dunia Pendidikan, Nuansa Madani, Jakarta.


Sumber : Indra Kurniawan

Edited By. Tanto Aljauharie
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Jawharie.blogspot.com
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Thanks for your visiting this Blog, please leave comment !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. JawHarie.Blogspot.com - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger