BERKURANGNYA IMAN KARENA MAKSIAT DAN TERLEPASNYA KETIKA MELAKUKAN MAKSIAT
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Artinya : Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari, Muslim).
Hadits ini termasuk hadits yang diikhtilafkan maknanya oleh para ulama. Adapun pendapat yang shahih tentang makna hadits di atas adalah bahwa tidak ada seorangpun yang melakukan perbuatan maksiat di atas sedang ia berada dalam keimanan yang sempurna. Dengan kata lain, orang yang melakukan perbuatan maksiat di atas maka dia termasuk orang yang tidak sempurna imannya.
Secara lafdiyah hadits ini menunjukkan makna bahwa yang melakukan perbuatan maksiat di atas termasuk orang yang tidak beriman, tetapi yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bukan hilangnya iman tetapi hilangnya kesempurnaan iman seseorang karena melakukan perbuatan maksiat di atas, hal ini didasarkan kepada hadits Abi Dzar di bawah ini,
مَنْ قَالَ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه دَخَلَ الْجَنَّة وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
Artinya : Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illallah maka akan masuk sorga, walaupun berzina, walaupun mencuri.
Serta didasarkan kepada hadits Ubadah bin Shamit yang shahih dan masyhur berikut ini :
أَنَّهُمْ بَايَعُوهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ لَا يَسْرِقُوا وَلَا يَزْنُوا ، وَلَا يَعْصُوا إِلَى آخِره . ثُمَّ قَالَ لَهُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّه ، وَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَته ، وَمَنْ فَعَلَ وَلَمْ يُعَاقَب فَهُوَ إِلَى اللَّه تَعَالَى إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Artinya : Mereka berbaiat kepada Rasulullah SAW. bahwa mereka tidak akan mencuri, tidak akan zina, tidak akan berbuat maksiat dan seterusnya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa diantara kalian memenuhi janji ini, maka pahalanya diserahkan kepada Allah dan barang siapa melakukan perbuatan tadi, kemudian disiksa di dunia maka siksaan itu kifarat baginya, dan barang siapa melakukan perbuatan tadi dan tidak disiksa maka keputusannya diserahkan kepada Allah, jika Allah menghendaki maka akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan menyiksanya.
Firman Allah dalam Al Quran surat An Nisa ayat 48 :
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa : 48).
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar selain syirik tidak kafir, tetapi mereka adalah mu’min yang tidak sempurna imannya berbeda dengan Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar.
Adapun pendapat ulama yang lain, maksud dari hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan perbuatan maksiat tadi dan menghalalkan maksiat tersebut serta dia mengetahui bahwa perbuatan itu haram, maka orang tersebut telah hilang imannya atau menjadi kafir.
Menurut Ja’far bin Jarir, makna hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan maksiat tersebut maka dia tidak layak disebut sebagai mu’min, tetapi ia lebih layak dicela sebagai pencuri, pezina, fasik dan lain-lain.
Terlepas dari perbedaan ulama dalam memaknai hadits di atas, inti dari hadits di atas adalah larangan bagi orang mu’min untuk melakukan maksiat zina, minum khamr dan mencuri karena perbuatan itu akan mengurangi kesempurnaan keimanan seseorang. Dengan demikian iman seseorang akan berkurang kesempurnaannya jika dia melakukan maksiat, dan akan bertambah kesempurnaannya jika melakukan ibadah.
Adapun tentang bertambah dan berkurangnya keimanan para ulama beda pendapat :
1. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Asfahani dan Kitab At Tahrir fi Syarhi Shahih Muslim mengatakan : Iman secara bahasa adalah tashdiq (membenarkan). Jika yang dimaksud iman adalah tashdiq maka dia tidak bertambah dan tidak berkurang, karena tashdiq itu tidak terdiri dari banyak bagian yang terkadang sempurna pada suatu waktu dan berkurang pada waktu yang lain, dan jika tashdiq berkurang maka berubah menjadi ragu-ragu. Adapun Iman menurut Syara’ adalah membenarkan dalam hati dan diamalkan dengan perbuatan. Berdasarkan pengertian ini maka iman bisa bertambah dan berkurang, dan ini adalah madzhab Ahli Sunnah. Para ulama beda pendapat dalam masalah bagaimana jika seseorang membenarkan dalam hati tapi tidak disertai dengan perbuatan iman, apakah dia bisa disebut sebagai mu’min atau tidak ? dan menurut pendapat mushannif orang tersebut tidak bisa disebut sebagai orang mu’min berdasarkan hadits di atas.
2. Menurut Imam Abu Hasan Ali bin Khalaf dalam kitab Syarah Shahih Bukhari, madzhab Jamaah Ahli Sunnah adalah ‘bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang’. Pendapat ini didasarkan kepada ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh Imam Bukhari. Firman Allah SWT yang artinya:
22. dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al Ahzab : 47).
"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. Al Fath : 4)
Dengan demikian jika seorang mu’min bertambah amal baiknya maka tambahlah kesempurnaan imannya, dan jika berkurang amal baiknya maka berkuranglah kesempurnaan imannya.
3. Menurut pendapat ketiga ini iman itu merupakan pembenaran dalam hati, diikrarkan oleh lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Jika salah satunya tidak ada maka dia belum bisa disebut mu’min. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al Anfal : 2-3)
[594] Maksudnya: orang yang sempurna imannya.
[595] Dimaksud dengan disebut nama Allah Ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakannya.
MALU SEBAGIAN DARI IMAN
حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يعظ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah SAW lewat kepada seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW berkata : Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang salah satu cabang iman yaitu malu. Sebagaimana dijelaskan oleh hadits bahwa iman itu memiliki 67 cabang, dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda : Iman itu enam puluh lebih cabangnya, dan malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari Muslim)
Malu menurut bahasa adalah keadaan takut dicela. Terkadang malu diartikan dengan tidak melakukan sesuatu karena ada suatu sebab.
Adapun malu dalam istilah syara’ adalah akhlak yang mendorong manusia untuk meninggalkan perbuatan buruk dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Malu merupakan sebuah watak, bisa juga merupakan akhlak. Malu yang merupakan akhlak memerlukan upaya, ilmu dan niat, karenanya merupakan bagian dari iman serta bisa mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah dari maksiat.
Malu juga ada yang mendorong orang untuk melakukan maksiat, seperti malu terhadap penguasa sehingga menimbulkan enggan untuk amar ma’ruf nahyil munkar kepada pemerintah tersebut. Malu yang ini bukan malu yang sebenarnya, tetapi malu tipe ini merupakan kelemahan, kerendahan dan kehinaan.
Mujahid berkata :
لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
Orang yang pemalu tidak akan bisa mempelajari sebuah ilmu, begitu juga orang yang takabbur.
Siti Aisyah berkata :
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
Wanita yang paling baik adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk berusaha memahami agama.
Kedua malu yang dimaksud oleh Mujahid dan Siti Aisyah bukan malu yang dimaksud oleh Hadits di atas, karena malu yang sebenarnya adalah malu yang bisa mencegah orang dari melakukan maksiat, maka seolah-olah keimanannya yang mencegah orang tersebut dari perbuatan maksiat.
KESIMPULAN
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Artinya : Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari, Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang melakukan maksiat kadar keimanannya berkurang, dengan demikian maka iman bisa bertambah dengan melakukan ibadah dan iman bisa berkurang dengan melakukan maksiat.
حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يعظ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah SAW lewat kepada seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW berkata : Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa memiliki rasa malu yang mendorong orang untuk melakukan amal shaleh dan menjauhi maksiat adalah sebagian dari iman, dengan demikian maka seolah-olah yang mendorong dan mencegah mereka adalah keimanan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fathul Bari
Maktabah Syamilah
Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1996, Himpunan Hadits Shahih yang Disepakati oleh Bukhari dan Muslim, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Syarhun Nawawi Alal Muslim
Quran in Word, V. 1.3
IMAN ISLAM DAN IHSAN
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Jawharie.blogspot.com
0 Comments