BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Manusia diciptakan oleh Allah membawa tugas untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Tugas ini tidak dapat terpenuhi jika manusia tidak mengetahui pokok-pokok agamanya (ushuluddin) dan pengetahuan tentang tatacara ibadah kepada Allah SWT (furu’uddin). Hal ini sangat penting, karena dengan mempelajari pokok-pokok agama akan memberikan keyakinan yang didasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh perubahan zaman (A. Mustadjib, RHA. Suminto, 2007:19). Untuk itu manusia dituntut untuk mempelajari Ilmu Kalam.
Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang penetapan akidah keagamaan (Dzat Allah beserta seluruh sifatnya, Rasul beserta seluruh sifatnya dan akidah sam’iyyat) yang berlandaskan pada dalil-dalil yang yakin (Ibrahim Al-Baijuri :8).
Dalam perkembangannya Teologi Islam mengalami polarisasi dalam beberapa persoalan sehingga menimbulkan berbagai aliran teologi. Aliran teologi tersebut ada yang bersifat tradisional, liberal dan ada yang menempatkan diri diantara tradisional dan liberal (Harun Nasution, 2007:x).
B. Tujuan Penulisan
Mahasiswa sebagai figur intelektual di masyarakat memiliki peran penting dalam menebarkan benih keimanan yang benar di masyarakat sekaligus membentengi masyarakat dari teologi yang jauh dari hakikat Agama Islam.
Melihat pentingnya hal tersebut di atas maka penulisan makalah ini didasarkan pada beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Sebagai wahana memperluas wawasan dan pengetahuan penulis tentang Aliran-aliran teologi Islam.
2. Sebagai bahan diskusi bidang studi Ilmu Kalam di kelas I B Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI Institut Agama Islam Darussalam Ciamis.
3. Semoga bisa menjadi sumbangan yang berarti bagi perkembangan keilmuan di lingkungan kampus dan masayarakat.
C. Batasan Pembahasan
Luasnya pembahasan yang berhubungan dengan Ilmu Kalam dan kemampuan penulis yang terbatas menjadi ispisari bagi penulis untuk membatasi pembahasan hanya seputar masalah Golongan Salaf, agar pembahasan menjadi terfokus dan mendalam.
D. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami materi yang dibahas maka penulis mengajukan sistematika penulisan sebagai berikut :
1. Menjelaskan definisi salaf dan karakteristik ulama salaf.
2. Menjelaskan tentang sejarah singkat Ibnu Hanbal dan sekilas teologinya.
3. Menjelaskan tentang sejarah singkat Ibnu Taimiyah dan pemikiran teologinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Salaf
1. Pengertian Salaf
Salaf menurut etimologi berarti terdahulu atau telah lewat (Kamus Digital Al-Mufid v. 01). Adapun salaf menurut terminologi Ilmu Kalam para pakar memberikan definisi yang berbeda-beda, diantaranya :
a. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’i tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para Muhadditsin (ahli hadits).
b. Menurut Asy-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam mentafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
c. Mahmud Al-Bisybisyi mengatakan bahwa salaf adalah sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya yang menampik panafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.
2. Karakteristik Ulama Salaf
Menurut Ibrahim Madzkur karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :
a. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli).
b. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan cabang-cabang agama (furu’uddin) hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
c. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk).
d. Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
Berdasarkan karakteristik diatas maka tokoh berikut ini dapat dikategorikan sebagai ulama salaf, yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Ja’far Ash Shadiq (148 H) dan para imam madzhab yang empat (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bi Hanbal).
Menurut Harun Nasution secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal kemudian dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab hingga akhirnya berkembang secara sporadis di dunia Islam. Di Indonesia sendiri gerakan ini dilaksanakan oleh gerakan Persatuan Islam (Persis) atau Muhammadiyah.
B. Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
1. Sejarah Singkat Ibnu Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali (Abdur Rozak, Rosihon Anwar, 2007:111)
Ibunya bernama Shahifah (Safiyyah menurut Imam Munawwir, 1985:293) binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad Saw.
Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah Al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula (www.wikipedia.com). Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu Al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.
Diantara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab.
Menurut Imam Munawwir (1985:296) guru Imam Ibnu Hanbal diantaranya Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim(fiqh dan hadits), Husyaim bin Basyir bin Abi Qasim Al-Washiti (hadits), Umair bin Abdullah, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Bakar ‘Iyadi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (memahami hukum dan cara meng-istinbath hukum), Ibrahim bin sa’id, Yahya bin Qattan, Waki’ dan Sufyan bin Uyainah.
Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tajilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.
2. Pemikiran Teologi Ibnu Hanbal
a. Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT.
Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5 berikut ini :
4. (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.
Beliau menjawab :
إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya :
Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.
Dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.
Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk.
b. Tentang Status Al-Quran
Pendapat Ibnu Hanbal tentang status Al-Quran dapat disimak dari dialog beliau dengan Gubernur Irak, Ishaq bin Ibrahim. Ketika beliau ditanya : “Apa pendapatmu tentang Al-Quran”, beliau hanya menjawab : “Sabda Tuhan”, ketika ditanya “Apakah ia diciptakan”, beliau menjawab : “Sabda Tuhan, saya tidak mengatakan lebih dari itu”.
Berdasar dialog di atas, Ibnu Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Quran. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.
C. Ibnu Taimiyah (661-729 H)
1. Sejarah Singkat Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah.
Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu (KH. Siradjuddin Abbas, 1987:261).
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.
Pemikiran Ibnu Taimiyah yang meliputi antropomorpisme (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) dianggap bertentangan dengan pemikiran yang berkembang pada saat itu sehingga pada awal tahun 1306 M., ia dipanggil ke Kairo kemudian dipenjarakan.
.
2. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits) .
b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal.
c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :
a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah :
1) Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
2) Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
3) Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
4) Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan :
1) Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual).
2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil).
3) Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad).
4) Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif).
5) Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).
Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal :
a. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Allah meridlai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil (Abdur Rozak, Rosihon Anwar, 2007:115-117).
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Salaf adalah sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya yang menampik panafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. Diantara tokoh ulama salaf adalah Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah
Ibnu Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Diantara pemikiran teologi Ibnu Hanbal adalah dalam menanggapi ayat mutasyabihat ia lebih suka menggunakan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada ta’wil dan ia tidak mau mengatakan bahwa Quran itu diciptakan.
Ibnu Taimiyah mempunyai nama lengkap Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim, ia lahir di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut :
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits) .
b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal.
c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal :
a. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Allah meridlai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Ibnu Taimiyah menentang rasionalisme baik metode filsafat maupun teologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajudin, KH, I’tiqad Ahlusunnah wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyyah, Jakarta, 1987.
Baijuri, Ibrahim Al-, Tuhfatul Muriid Aala Jauhrit Tauhiidi, Darul Ihyail Kutubil Arobiyyah, Surabaya.
Kamus Digital Al-Mufid versi 1.0
Munawir, Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Nasution, Harun, Teologi Islam : Aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan, UI Press, 2007.
Rozak, Abdul, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
Taufiq, Muhammad, Quran in Word Ver 1.3
www.wikipedia.org.
Golongan Salaf
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Jawharie.blogspot.com
0 Comments